Sabtu, 21 Mei 2011

Inspiring story











Merekalah masa depan Bangsaku

By. Ummu Rahadiyani


















Kenaikan kelas tinggal hitungan hari. Siswa siswi yang merasa nilainya kurang sedang sibuk-sibuknya mondar-mandir ruang guru. Begitu pula aku, meskipun diriku terhitung murid yang cerdas di kelasku, namun aku tetap sibuk mondar-mandir ruang guru dengan teman yang berbeda.
”Fra, tolong gue dong.. tugas Bu Ratna, Bu Mila sama Pak Parno belum semua.” pinta Rizky memelas.
“Aduh Ky, bentar ya.. ini si Raffi belum selesai gue ajarin.” Aku masih sibuk di samping Raffi yang sedang serius dengan buku tulisnya.
Dari depan kelas, datanglah Pak Rusli wali kelasku sambil membawa map. Semu anak-anak langsung kembali ke meja masing-masing.
“Bapak mau kasih pengumuman penting..” Pak Rusli memulai pembicaraan. Entah mengapa suasana kelas mulai tegang. “Untuk kalian yang belum tuntas nilainya di setiap mata pelajaran, harap segera selesaikan urusan dengan guru yang bersangkutan. Deadline hanya tinggal 2 hari. Karna minggu depan kita sudah menerima rapor.”
Anak-anak kembali melanjutkan kesibukannya. Apalagi Raffi dan Rizky yang semakin panik mendengar deadline yang diberikan walikelasnya.
”Dan untuk kalian semua....” Pak Rusli diam sebentar kemudian menarik nafas. ”Bapak harap kalian siap jika salah satu antara kalian harus ada yang tinggal kelas. Bapak permisi” Kemudian Pak Rusli meninggalkan kelas meninggalkan keteganggan yang semakin menjadi di kelas. Aku memandang kepergian Pak Rusli dengan tatapan tidak percaya.
Aku bergegas menyusul Pak Rusli yang baru saja meninggalkan kelas. ”Pak..Pak Rusli... Pak Rusli tunggu pak..” panggilku. Pak Rusli menoleh. ”Pak, bisa minta waktu sebentar?”
***
”Pak, apa benar udah gak ada kesempatan untuk mereka yang .. mmm... yang agak terbelakang?” tanyaku pada Pak Rusli di ruang guru.
”Untuk itu bapak sendiri belumbisa memastikannya Fra. Bapak hanya memprediksikan seperti itu. Karna bapak lihat nilai beberapa siswa sangat tidak memungkinkan untuk naik kelas.” jawab Pak Rusli bijaksana.
”Ya tapi pak, harusnya bapak tidak membicarakan soal itu di depan anak-anak pak. Itu bisa membuat mereka down.” kataku miris.
”Tujuan bapak bilang itu supaya teman-teman kalian semuanya siap mental untuk menghadapi hasilnya nanti.” Kata Pak Rusli sambil merapikan mejanya.
”Tapi pak, apa emang benar-benar udah gak ada kesempatan sama sekali untuk teman-teman saya pak?” Tanyaku dengan wajah khawatir.
”Itu semua baru bisa bapak jawab setelah rapat pleno nanti. Disana semua guru-guru, Kepala Sekolah serta staf-staf yang lain akan membicarakan soal kenaikan kelas. Tapi posisi Raffi dan Rizky sangat terancam. Kamu tau sendiri kan mereka seperti apa saat proses KBM di kelas kemarin-kemarin?”
”Iya pak, saya tau gimana mereka. Tapi saya yakin banget mereka itu sebenarnya punya kemampuan, Pak. Saya tau orang-orang seperti mereka itu sebenarnya bisa. Hanya saja mereka tidak punya pembimbing yang selalu membimbing mereka.” tiba-tiba aku teringat akan Junio, orang yang kusayangi yang juga bernasib sama seperti Raffi dan Rizky. Junio bahkan lebih parah dari mereka yang masih ada sedikit harapan. Sudah banyak guru yang meng-klaim Juni akan tinggal kelas pada tahun ajaran ini.
Bukannya aku tidak memedulikan Junio, Aku sudah membantunya lebih dari yang ia lakukan kepada Raffi dan Rizky. Sekarang ia hanya bisa membantunya dengan doa. Junio benar-benar tidak memiliki semangat untuk sekolah. Keluarganya sama sekali tidak ada yang memperdulikannya. Aku tidak bisa menggantikan peran orangtuanya yang benar-benar penting dalam masalah ini. Aku merasa sudah melakukan yang sangat maksimal untuk Junio.
”Bapak tau Fra. Semua orang, tidak terkecuali satupun, pasti memiliki kemampuan masing-masing yang ada didalam dirinya. Bahkan Junio sekalipun.” DEGG. Aku tersentak mendengar nama Junio disebut Pak Rusli. ”Junio yang mungkin benar-benar tidak bisa diselamatkan saja bapak yakin memiliki kemampuan yang tersimpan dari dalam dirinya.” lanjut Pak Rusli.
”Junio, benar-benar tidak bisa diselamatkan pak?” Tanyaku dengan sangat hati-hati.
”Junio adalah murid yang .. yah.. bisa dibilang terparah disini. Dia benar-benar tidak memiliki semangat belajat. Oh iya Fra, bukankah kamu dekat dengan Junio?” Tanya Pak Rusli.
”Hah? Emmmm .. iya pak. Dia udah seperti saudara saya sendiri.” Jawabku.
“Kalo memang iya, kenapa kamu tidak membimbingnya dari dulu, Afra? Kamu kan termasuk murid cerdas.” Pak Rusli menyanjungku dan aku tak sedikitpun merasa bangga atas pujian itu. Bagaimana bisa aku bangga diatas penderitaan teman-temanku.
“Sudah kok Pak. Saya rasa, saya sudah berperan maksimal untuk Junio. Tapi mungkin kemampuan Junio hanya sampai situ.” wajahku semakin murung. ”Ya sudah pak, saya hanya ingin membicarakan soal itu. Terimakasih ya Pak atas waktunya. Saya Permisi” Aku pamit dan meninggalkan ruang guru. Pak Rusli menggeleng-gelengkan kepalanya saat aku berjalan keluar.
***
Hari yang dinanti-nanti pun tiba. Aku datang ke sekolah dengan hati ketar-ketir. Ia datang terlebih dulu daripada ibunya karena ia mendapat tugas untuk menjadi penerima tamu oleh Pak Rusli. Namun sayang, Aku datang terlambat. Saat aku tiba di sekolah, sudah banyak orang yang hadir disana.
”Aku!! Selamat ya lo ranking 2 lagi.. hhhh ranking gue turun nih Fra jadi ke 8.” kata Haikal menghampiri Aku yang sedang terburu-buru. Wajah Aku seketika langsung berubah sumringah.
”Hah?! Bener, Kal? Alhamdulillaaaaaah yes yes.. ” Aku melompat kegirangan. ”Iya bener lah. Lagian masa Aku peringkatnya di bawah 3 besar itu gak mungkin.” Haikal memuji Aku. ”udah, sekarang posisi lo udah aman kan?! Mending sekarang lo pikirin Junio.. Katanya anak IPS 3 banyak yang gak naik kelas.” lanjutnya.
Aku langsung menghentikan kegirangannya. Ia memandang Haikal dengan tatapan sedih. ”Demi apa lo?” tanyaku dengan nada pasrah.
”Ya gue sih kata anak-anak.” jawab Haikal santai. ”Gue duluan ya, Fra.” kemudian Haikal beranjak meningalkan Aku yang dilanda kegelisahan.
Aku berjalan gontai menuju kelasnya. Melihat Friska sudah menggantikan posisinya sebagai penerima tamu, Aku merasa lega. Ia bisa lebih bebas mengekspresikan wajahnya yang sedang galau, tanpa harus memasang topeng.
”Kenapa lo, Fra?” tanya Friska. ”Gimana Junio?” Akh! Kenapa semua orang nanya itu sih?! Umpat Aku dalam hati. Aku mengangkat bahuku tanda tidak tahu. ”Tenang aja Fra, katanya sih kita satu angkatan naik kok.” Ucap Friska sambil mengelus punggung Aku.
Aku langsung memandang wajah Friska tanda tidak percaya. ”Bener, Fris?” tanyaku. Friska mengangguk yakin. ”Tapi, gimana bisa semuanya naik? Junio kan udah di blacklist sama semua guru.” Tubuhku kembali lemas.
”Fra..” seseorang menegur Aku yang sedang gelisah. Aku menoleh ke arah orang itu. Ternyata papa Junio.
”Eh, Om.. mmm udah ambil rapornya Junio?” tanyaku sambil menyembunyikan wajah khawatirnya akan Junio.
”Belum, katanya Om mesti ambil di ruang Kepala Sekolah. Kamu gimana rapornya?” tanya papa Junio.
”Belum sih, Om. Tapi alhamdulillah dapet peringkat dua.” jawabku sambil tersipu malu. ”Wah, bagus banget. Junio belum tau naik atau tidak. Yaudah, Om ke ruang Kepala Sekolah dulu ya, Fra” Aku tersenyum kaku lalu mengangguk. Aku tidak bisa mengomentari apa-apa lagi setelah papa Junio berkata seperti itu..
Ibuku datang. Saatnya Aku menerima rapor. Meskipun namanya telah terpampang di papan tulis dalam kategori 10 besar. Namun Aku tetap tidak menunjukkan wajah bahagia. “Mmm Pak. Angkatan saya ini, naik kelas 100 % kan?” tanya Aku yang akhirnya nagkat bicara.
Ibu Aku memandang Pak Rusli menunggu jawaban. “Ya, alhamdulillah. Rapat pleno kemarin akhirnya memutuskan untuk memberi kesempatan pada mereka yang seharusnya tidak naik kelas.” Aku menghela nafas sangat panjang. Barulah ia menorehkan senyum yang sangat tulus.
“Kalau pun ada yang tidak naik, seharusnya Junio dan Raffi yang tidak naik. Tapi guru-guru menyeragamkan mereka semua untuk ikut program naik bersyarat. Jika dalam beberapa bulan mereka tidak bisa merubah sikapnya, maka mereka akan dikembalikan ke kelas XI” Pak Rusli menjelaskan dengan detail.
”Alhamdulillaaaah...” Aku setengah teriak saking girangnya. Ia mencium tangan Pak Rusli tanda terimakasih. Lalu Aku segera keluar kelas dan menemui Friska kemudian memeluknya.
”Friskaaaa... Junio naik kelas, Fris.. Ya Allah alhamdulillah banget. Gak sia-sia perjuangan gue selama ini.” ucapku kegirangan. Terlihat mataku berkaca-kaca saking girangnya.
Aku sangat bahagia teman-temannya, terutama Junio, diberikan kesempatan untuk merubah semuanya. Bulan depan mereka semua sudah kelas XII. Mereka akan menghadapi UN untuk kelulusan. Aku akan belajar lebih giat lagi.
***
Aku sudah memulai hari-harinya di kelas XII. Aku mendapatkan kesempatan untuk satu kelas kembali dengan Raffi dan beberapa teman sekelasnya saat di kelas XI. Tapi dari hari ke hari, Aku belum melihat kemajuan dari Raffi. Di tambah Raffi memilih untuk duduk di belakang dan sebangku dengan Irfan, anak IPS 3 yang juga dalam program naik bersyarat. Mereka berdua sama sekali tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar. Aku sempat pesimis dengan temannya yang ssatu itu. Hingga suatu hari, Aku melihat Raffi berbeda dengan Raffi yang sebelum sebelumnya.
”Fra, lo duduk sini aja sama gua. Si Irfan gak masuk hari ini. Biasa cabut.” Kata Raffi saat Aku baru memasuki kelas. Aku melihat ke meja duduknya yang sudah terisi temannya. Akhirnya Aku menuruti permintaan Raffi. Aku duduk sebangku dengan Raffi hari ini.
Meskipun Aku termasuk anak pintar dikelas. Tapi aku tidak pernah memilih-milih teman dalam bergaul. Jaman sekarang hanya sedikit anak yang pintar dikelas mau bergaul dengan orang-orang yang lebih rendah dari mereka. Makin kesini, semua semakin individualistis. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Dalam otak mereka hanya prestasi pribadi mereka yang paling menonjol. Sebagian dari siswa-siswa pintar atau jenius atau istilah lainnya, menganggap semua orang bahkan teman dekatnya sendiri adalah saingan untuk mencapai prestasi tertinggi.
Tapi tidak untuk Aku. Aku memang termasuk siswa lumayan pintar dikelas. Tapi Aku selalu beranggapan bahwa Bintang kelas bukan dilihat dari peringkatnya di kelas ataupun dari banyaknya ilmu yang dimilikinya. Tetapi dari bagaimana orang itu membagi ilmu yang dimilikinya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Oleh sebab itu, Aku memiliki banyak teman bukan hanya orang-orang pintar. Tapi sampai anak ter-brutal di sekolahku pun menjadi temanku.
Tapi jangan salah. Tidak sedikit juga orang-orang yang menyalahgunakan kebaikanku demi kepentingan pribadinya. Seperti membuatkan tugas dengan alasan alasan klise.
Bu Ratna, guru Bahasa Inggris, masuk ke kelas. Semua murid duduk di tempatnya masing-masing. ”Anak-anak, hari ini Ibu akan mengambil nilai dialog yang kemarin sudah ibu tugaskan untuk di hafal.” langsung kelas menjadi riuh. Raffi terlihat panik. Aku yang sudah menghafalnya sejak kemarin merasa tenang. ”Ibu beri kesempatan sepuluh menit untuk menghafalkannya lagi.”
”Fra, yang mana dialognya? Lo nyatet? Lo udah hapal?” tanya Raffi panik sambil membuka-buka buku catatannya.
“Ada di buku Paket kok. Halaman 31. coba deh buka” kataku dengan sabar. “Nih, coba lo hafalin. Hari ini harus maju lho.” Aku memberikan dorongan agar Raffi mau menyelesaikan tugas yang diberikan.
“Oke, lo pasangan sama gue ya Fra. Pliiiis....” pinta Raffi memelas. Aku mengangguk mantap. Kemudian Raffi mulai untuk menghafalkannya.
Sangat ajaib. Lima menit kemudian Raffi mengacungkan jarinya tinggi-tinggi. Aku terkejut dengan apa yang ia perbuat. Aku tidak tahu apa yang akan Raffi lakukan.
”Bu, saya maju pertama berpasangan dengan Aku.” ucap Raffi lantang, mantap dan penuh rasa percaya diri. Bu Ratna yang terkejut menurunkan kacamatanya untuk melihat Raffi seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa yang tadi berbicara benar-benar Raffi. Raffi yang hampir divonis tidak naik kelas.
”Lo yakin, Fi?” tanyaku tidak percaya. Takut-takut Raffi sedang mengigau atau semacamnya. ”Iyalah. gue yakin. Gue udah hapal semua dialog ini. Butuh waktu 2 menit lagi untuk ngelancarinnya, Fra. Lo siapkan maju pertama?” tanya Raffi semangat.
Aku tidak pernah melihat Raffi sesemangat ini. Apalagi soal tugas yang diberikan Bu Ratna. “Ah? Iya . gue siaplah, Fi” jawabku gelagapan saking terkejutnya.
Kemudian mereka maju untuk melakukan tugas dialog. Tidak ada satupun kata yang dilupakan Raffi. Aku sangat bangga dengan temannya yang satu ini. Setelah insiden dialog yang terjadi hari itu, Aku menyangkal semua pesimisnya akan teman-temannya yang dalam program bersyarat. Aku yakin mereka semua bisa merubah keburukan-keburukan mereka. Tapi ternyata tidak untuk Junio.
***
“Fra, Junio udah Alpha 2 kali minggu ini.”
”Fra, Junio dipanggil orangtuanya karna sering gak masuk”
”Fra, Junio seminggu Cuma masuk 3 hari aja”
Semua laporan-laporan itu sampai di telingaku. Laporan itu membuat ku sedih bukan main. Tapi rasa sedih itu tidak separah ketika ia mendengar laporan dari temannya yang lain, seperti:
“Fra, kemarin Junio udah diancam diturunkan ke kelas XI lagi. Tapi dia tetep gak masuk tanpa kabar minggu kemarin. Dan akhirnya wali kelasnya mengancam dia akan di D.O dari sekolah ini”
Laporan itu adalah laporan yang paling menyakitkan dari yang lainnya. Aku langsung menghampiri Rasha teman baiknya dan menangis tersedu-sedu dalam pelukan Rasha. Aku tidak habis fikir, bagaimana bisa aku memperhatikan teman-temanku yang lain sebegitu perhatiannya tetapi Junio, orang yang paling aku sayang tidak. Bukannya Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya saja Junio yang benar-benar tidak berubah. Aku merasa gagal membimbing Junio untuk berubah.
”Udahlah, Fra. Kamu gak usah ngurus dia lagi. Mending kamu perhatiin temen-temen yang lain, yang masih pengen diperhatiin. Junio udah gak mau diperhatiin lagi sama kamu kalau dia gak berubah kayak gitu.” Kata Rasha memberikan pendapat. Aku tampak mencerna apa yang dikatakan Rasha. Aku melepaskan pelukannya, kemudian Rasha menghapus airmata sahabatnya itu.
”Fra, coba deh kamu liat Raffi...” Aku menoleh ke arah Raffi yang sedang asik menggambar. ”Rizky.. dan masih banyak lagi temen lo yang butuh perhatian lo. Mungkin lo harus bilang ke Junio kalo lo udah nyelesein tugas lo semampu lo.” Kemudian Aku tersenyum dan menghapus sisa-sisa airmatanya.
***
“Junio.. emmm... aku mau ngomong penting ke kamu.” Kata ku di hadapan Junio. “Ada apa, Fra?” tanya Junio tampak bingung.
“Aku mau minta maaf ke kamu.” Kalimat yang kulontarkan terasa sangat berat untuk diucapkan. ”Aku... a aku.. Aku udah gak bisa bantu lo lagi di sekolah.” tanpa disadari airmataku menetes. “Aku rasa kamu udah tau mana yang baik dan mana yang buruk untuk diri kamu.” Junio menatapku datar.
“Tapi aku yakin kok, kamu pasti bisa, Yo!” Aku mengangkat wajahku dan tersenyum optimis meskipun wajahku masih berurai air mata. Aku memandang wajah Junio yang berekspresi datar. Mataku tepat menatap mata Junio yang sebenarnya menyimpan kesedihan.
Tanpa berkata apa-apa, Junio langsung memeluk tubuh Aku. Aku hanya diam tak membalas pelukan Junio. ”Fra, maafin aku. aku gak bisa jadi yang kamu pengenin. aku gak mampu ngerubah hidupku demi kamu. Aku cuma bisa nyusahin kamu.” Kata Junio parau. Junio melepaskan pelukannya dan menatap Aku yang semakin menangis tersedu.
“Pergi, Fra. Kamu gausah peduliin aku lagi. Aku cuma beban buat hidup kamu. Aku cuma penghalang buat kamu ngejar cita-cita. Gausah pikirin aku lagi. Aku tau mana yang baik buat diri aku. Makasih banyak buat semuanya.” Junio tersenyum simpul kemudian pergi meninggalkan Aku sendiri.
“Maafin kamu, Yo.. Maafin gue.. hiks. Gue sayang sama lo, Junio” Aku bergumam.
***
Semester akhir di Sekolah Menengah Atas baru saja dimulai. Aku menerima hasil belajarnya dengan bangga. Meskipun peringkatnya turun menjadi peringkat 3, tapi Aku bangga karena Raffi mampu menduduki peringkat 20 besar, yang sebelumnya 40 besar.
Kini di semester akhir ini, Aku semakin memperketat pengawasan kepada teman-teman sekelasnya yang dalam program naik bersyarat. Dan sepertinya kali ini tugas Aku semakin berat. Aku mendapat tugas dari guru BK untuk menjadi tutor untuk anak-anak dalam program bersyarat satu angkatan. Setiap pulang sekolah, Aku memberikan waktu tambahan untuk membantu teman-temannya mengerjakan PR. Aku semakin melihat kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh teman-temannya yang dalam program naik bersyarat. Aku sangat menyayangkan sekali kepada guru-guru yang memandang sebelah mata kepada mereka.
Mereka hanya perlu pendekatan dengan hati, bukan dengan omelan-omelan dari guru. Aku mengajari mereka dengan sabar, bahkan dengan selingan humor agar mereka tidak terlalu stress. Dan dalam waktu sebulan, mereka mampu menguasai beberapa bab, walaupun hanya sebagian kecil, dari materi yang akan di ujikan pada UN nanti.
Sesekali aku tersenyum sendiri melihat teman-temannya yang dengan sungguh-sungguh berusaha agar bisa menjadi yang terbaik. Tapi tak jarang Aku menahan tangis ketika menyadari kalau Junio tidak ada di tengah-tengah mereka. Aku sudah memberikan pilihan kepada Junio untuk ikut atau tidak dalam program bimbingan ini. Junio bilang mau. Tapi nyatanya, tidak pernah sekalipun ia memasuki kelas ini bersama teman yang lainnya.
Aku selalu diliputi oleh rasa bersalah kepada dirinya dan Junio. Tapi mau tak mau, Aku harus merelakan Junio menjadi korban demi teman-teman yang lainnya. Aku rela, meskipun dengan terpaksa, mengorbankan orang yang kusayangi. Aku mencoba untuk melupakan Junio dan menatap kedepan. Banyak teman-temanku yang ingin berubah ke arah yang lebih baik.
Mereka adalah masa depan bangsa, aku ingin masa depan bangsaku cerah, aku harus membuat mereka berhasil. Kataku dalam hati ketika melihat keseriusan teman-temanku.
***
7 tahun kemudian...
”Permisi..” seseorang mengetuk pintu kantorku. ”Masuk” ucapku tanpa melepas pandanganku dari map yang kupegang.
”Maaf, Bu. Pimpinan PT Indonesia food ingin bertemu dengan ibu. Katanya sudah ada janji.” kata seorang wanita yang sepertinya seorang receptionist.
”Atas nama siapa?” tanyaku menatap wanita itu dengan ingin tahu.
”Bapak Dr. Junio Prasetya, M.M” jawab wanita itu sambil membaca daftar yang tertera di map.
Aku sedikit terbelalak. ”Junio..?!!” Aku bergumam heran campur terkejut. Kemudian Aku terdiam terlihat sedang berpikir. ”Bagaimana, Bu? Apa orang ini boleh menemui Ibu?” tanya wanita itu lagi.
”Ya, persilahkan ia masuk.” wanita itu keluar dari ruanganku, kemudian kembali lagi bersama seorang pria ber-jas rapi dan bersepatu pantofel. Aku melihat orang itu dari ujung sepatunya, kemudian celana, jas yang menutupi kemeja biru muda nya, mengenakan dasi hitam, dan kemudian...
”Yayasan kamu bagus ya, Fra. Kamu udah sukses mewujudkan cita-cita kamu untuk menolong anak-anak remaja yang mengalami hambatan sekolah akibat pergaulan masa kini dengan membangun yayasan ini. Sudah berapa anak yang kamu tolong untuk bisa naik kelas lewat yayasan kamu ini? Beruntungnya mereka yang masih bisa dibimbing kamu. Gak seperti aku dulu.” Pria itu berbicara tanpa ba-bi-bu.
”Junio?!!!” Aku terkejut. Mataku mengerjap tidak percaya.
”Ya, ini aku, Afra.” Pria itu membalas tatapanku dengan senyuman. Aku bangkit dari kursi yang kududuki tadi, kemudian berjalan perlahan menuju pria itu. Tatapanku masih menuju wajah pria itu masih tidak percaya. Aku mendekat, semakin mendekat. Tanganku terangkat menuju wajah pria itu. Aku menyentuh wajah pria itu. Pria itu membalas sentuhan tanganku.
”Ini aku Afra, aku Junio.” Aku memeluk Junio dengan erat. Junio membalasnya dengan ragu-ragu. Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Junio. Seolah de javu yang pernah kualami ketika SMA dulu.
Junio melepaskan pelukannya dan memandang wajah Aku yang beruraian air mata. Junio menghapusnya dengan lembut. ”Aku datang untuk membuktikan ke kamu, kalau apa yang kamu lakukan ke aku tidak sia-sia. Aku datang ke kamu untuk berterimakasih atas apa yang telah kamu ajarkan untuk aku. Dan aku datang ke kamu karena aku ingin... ingiin.. eeeemm ” Junio terlihat bingung mencari kata-kata. Aku menyentuh wajah Junio lagi dengan sangat lembut. Suasana berubah sunyi sepi. Aku mendekatkan wajahku ke wajah Junio. Wajah Junio berubah tegang. Lalu Aku berkata sangat pelan, nyaris tak terdengar oleh siapapun kecuali Junio.
”Yes, I’ll be yours, once again”
***

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar